Powered By Blogger

Senin, 13 September 2010

untuk sesuatu bernama KITA









Memandang laut seperti ini, aku selalu suka. Tak butuh kata karena. Tak butuh kata mengapa. Hanya cukup melibatkan hati dan ia dibuat tentram karenanya. Mungkin, jikapun nanti ada alasan, itu tidak akan cukup merangkum semua rasa yang bergelora di sana, di sebuah ruang yang dalamnya bersiliweran nama-nama, angka-angka, atau berbagai rupa rasa yang datang dan pergi, sepanjang hari.


Aku hanya butuh diam, kesendirian, dan dialog lirih dari mulut sendiri. Itu saja cukup. Keindahannya lebih meresap dan merayap.


Memandang laut seperti ini, aku selalu suka. Diiringi liukan dan tarian camar, ombak yang berdebar, horizon yang biru dan menyatu. Kadang, perahu nelayan melintas, dengan wajah berbinar, banyak tangkapan yang tertampung di lambung kapal hari ini. Atau sesekali kapal beratus penumpang itu tiba. Membawa wajah, nama-nama, ke berbagai tujuan dan alamat di kota ini, atau hanya istirah dan transit sesaat saja.


Memandang laut seperti ini, aku selalu suka.


Sama sukanya seperti melihat tarian hujan dari balik jendela. Meski akhir-akhir ini aku resah sendiri, karena hujan sudah mulai tak akrab pada diri. Setidaknya, meski aku masih merinduinya hadir di ubun-ubun kota, ia telah membuat sebagian hati mengambang dalam sengsara. Aku benci jika harus tersenyum di atas derita orang-orang. Rumah tenggelam, kota tergenang. Dan, aku harus lari dulu dari hujan di balik jendela. Yang diam-diam menyisakan perih yang kian lama kian nganga, dan aku mulai dihinggapi rasa tak suka.


Memandang laut seperti ini, aku selalu suka.


Awan kecil berkejaran di ujung cakrawala. Kadang melintas membuat sketsa wajah, kadang terdiam menimba warna. Aku masih diam. Memandang dan terpana.


Aku diam di jenak ini. Mengenangkan betapa telah lelah semua kisah itu terangkai indah. Aku, yang tak pernah bisa menjadi obor dalam gelap jalanmu, yang selalu merasa tak punya arti di hadapanmu, yang keberadaannya hanya sebagai pelengkap hidup saja, seperti tombol-tombol tanpa nama yang dipakai kapan suka.


Aku, yang selalu merasa tak pantas ada di sampingmu, yang akhirnya berbunga dan diam-diam mekar tanpa menunggu alasan. Tetapi, untuk menjadi kunang-kunang kecil yang kedipnya sekejap itu, aku telah rela, dan aku harus membayar mahal semuanya.


Ada sesuatu yang telah berubah dari diri, ada yang terbawa lari. Aku, yang selalu mengagumimu diam-diam dalam diam, harus rela membiarkan seluruh ruang ditempati nama dan sktesa rupa. Kamu. Yang kini mulai melangkah, dengan linangan air mata, dan aku tak kuasa mencegahnya.


Entah harus kujelaskan apa lagi padamu. Aku siap merapalkan seluruh doa untuk bisa kembali meraihmu, mencegahmu pergi, atau sekedar bertanya, tak bisakah kau menunggu lebih lama untuk sekedar melukis awan di langit sana?


Ada banyak cerita yang ingin kubagi, kudeteksi, kubincangkan lebih dalam denganmu. Tak bisakah kau diam dulu dan kembali duduk di sampingku, bercerita dan saling menimpali?


‘tuk semua yang terlambat kulakukan


‘tuk semua yang tak sanggup ku janjikan


‘tuk semua…


Pahamilah bahwa aku tak pernah ingin semua ini terjadi. Lepas dan lerai menjadi derai. Kelu itu begitu mengganggu, hingga ku tak pernah bisa menjanjikan seputik janji pun padamu. Menyaksikan punggungmu berlalu, melihat gontainya langkahmu, seandainya ku bisa, aku akan menarikmu kembali ke pelukku… kumohon. Aku tak sanggup lagi berbohong padamu. Tapi kenapa aku tak bisa? Aku tak pernah bisa, kau tahu? Aku tak punya keberanian melakukannya.


Demi Tuhan. Aku tak ingin menghalangi langkahmu. Aku selalu menginginkan yang terbaik untukmu. Itulah sebabnya aku tak pernah bisa menjanjikan apapun padamu. Aku takut itu tak pernah bisa menjadi yang terbaik bagimu. Tidakkah kau tahu?


ke semua yang tak sempat ku ungkapkan


ke semua yang tak tepat ku katakan


tak usai ku jalani


tak ingin ku ingkari…


dan semua…


Harus kukatakan akhirnya, padamu, meski lirih di balik punggungmu: aku mencintaimu. Cinta yang tak lekang oleh waktu, yang jikapun tak bersatu, biarkan ia tumbuh di tempat yang seharusnya. Di tempat dimana aku bisa berkata, aku suka… suka… sukaaa kamu, melebihi yang kamu tahu…


Biarlah begitu. Kau tak perlu tahu.


***


Memandang laut seperti ini, aku selalu suka. Mengenangkan jejak-jejak langkah yang terdiam dan pergi dan harus kurelakan tanpa sakit hati. Mungkin, ini tentang memaafkan. Mungkin, ini tentang menerima kenyataan. Dan pasti lebih berarti di hati jika hari diisi tanpa harus mengharap lagi.


Memandang laut seperti ini, aku selalu suka. Mencoba suka untuk mengatakan bahwa semua memang sudah terlambat. Atau, jika pun belum, masihkah ada kata-kata untuk merangkainya kelak?


Memandang laut seperti ini, aku selalu suka. Ada cerita berlari di cakrawala, bersambung dan berirama. Kelak, aku akan katakan pada diri, takkan ada lagi yang terlambat. Untuk hati, untuk sebuah kata bernama KITA, yang takkan lagi terlambat tercipta. Meski itu bukan dengan sosok yang sama.


Semoga…



Untukmu